BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam
tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada adbad ke-12 Kerajaan
Sriwijaya runtuh akibat dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Ketika Sriwijaya
runtuh sebagai pusat niaga, maka lahirlah suatu daerah atau kota yang dalam
ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong (yang kini lebih dikenal dengan
sebutan Kota Palembang). Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai
kota niaga yang di dalamnya masih terdapat suatu tumpuan pelabuhan
internasional yang secara khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari
China. Bahkan, kota ini perna menjadi enclave (daerah kantong) China selama
kurang lebih 200 tahun.
Kesultanan
Palembang dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa seorang tokoh yang
bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja
Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di
Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat
kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat palemabang sudah banyak
yang memeluk Agama Islam, Konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario
Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
Adapun
pembahan yang lebih mendetail lagi akan penulis bahas pada halaman berikutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang?
2. Bagaimana
Silsilah Kepemimpinan Kesultanan Palembang?
3. Bagaimana
periode pemerintahan pada masa Kesultanan Palembang?
4. Bagaimana
Struktur Pemerintahan Kesultanan Palembang?
5. Bagaimana
ekonomi Kesultanan Palembang?
6. Bagaimana
Peperangan yang terjadi pada masa Kesultanan Palembang?
7. Bagaimana
keruntuhan Kesultanan Palembang?
BAB
II
PEMBAHAN
A. Seajarah Kesultanan Palembang
Sejarah
berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam tidak terlepas dari runtuhnya
Kerajaan Sriwijaya pada adbad ke-12 Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat dikalahkan
oleh Kerajaan Majapahit. Ketika Sriwijaya runtuh sebagai pusat niaga, maka
lahirlah suatu daerah atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan
Palinfong (yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang).
Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di
dalamnya masih terdapat suatu tumpuan pelabuhan internasional yang secara
khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari China. Bahkan, kota ini perna
menjadi enclave (daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.
Pada
tahun 1659, di Palembang juga berdiri sebuah Kesultanan yang memiliki corak
tersendiri dan berbeda dengan kerajaan Palembang sebelumnya, Yaitu Kesultanan
Palemabang Darussalam. Pendiri Kesultanan Palembang ini adalah Sultan Ratu
Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, yang pada masa akhir hayatnya
bergelar Sunan Cinde Walang. Sejarah kekuasaan dirinya beserta sultan-sultan
setelahnya akan dibahas tersendiri dalam priode Pemerintaha
Sejarah
Kesultanan Palembang dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa seorang
tokoh yang bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera
dari raja Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun
1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada
saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat palemabang sudah
banyak yang memeluk Agama Islam, Konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah
atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
B. Silsilah Kepemimpinan Kesultanan
Palembang
Adapun
silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang adalah sebagai berikut:
Ø Sultan
Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659-1706 M).
Ø Sultan
Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714 M).
Ø Sultan
Agung Komaruddin Sri Truno (1714-1724 M).
Ø Sultan
Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah).
Ø Sultan
Mahmud Badarudin Jayo Wikramo (Sultan Badarudin I) (1724-1758 M).
Ø Sultan
Ahmad Najmudin (1758-1776 M).
Ø Sultan
Muhammad Bahauddin (1776-1804 M).
Ø Paduka
Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin
II) (1804-1812 M).
Ø Sultan
Ahmad Najmuddin II Husin Diauddin (1813-1817 M).
Ø Sultan
Ahmad Najmuddin III Prabu Ratu (1819-1821 M).
Ø Sultan
Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M).
Ø Sultan
Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Bdaruddin III) (2003).
Ø Sultan
Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-sekarang).
C. Periode Pemerintahan
Kesultanan
Palembang Darussalam berdiri selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1659
hingga tahun 1825. Sebelum kesultanan ini berdiri sebenarnya telah ada terlebih
dahulu Kerajaan Palembang yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan
Palembang Darussalam. Bedanya dengan Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang
Darussalam lebih bercorak Islam karena menerapakan syariat Islam serta
menjadikan Al-quran dan Hadist sebagai konstitusi pemerintahan.
Sultan
Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman atau disebut dengan Suna Cinde
Walang adalah raja pertama di Kesultanan Palembang Darussalam. Ia memerintah
selama 45 tahun. Dengan masa kekuasaanyang begitu panjang, ia telah meletakkan
tata kehidupan sosial, dan politik yang kuat di kesultanan ini. Dalam bidang
pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal
dengan istilah raban dan jenang. Undang-undangdan perarturan-peraturan yang
dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh
setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka,
Belitung sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu, (Kapahiyang/Rejang), dan
Lampung (Tulang Bawang/Mesuji).
Sunan
Cinde Walang perna melakukan aliansi internasional antara Palembang, Jambi dan
Johor. Aliansi ini hanya bersifat insidentil dan situasional. Namun, aliansi
ini kadang justru menumbulkan konflik di antara mereka sendiri karena adanya
perbedaan kepentingan. Dalam bidang pertanian, ia mewajibkan bagi daerah-daerah
tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem perairan yang
dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk
pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan. Setelah Sunan Cinde Walang
meninggal pada tahun 1706, tahta kekuasaan kesultanan kemudian dipegang oleh
putranya yang bernama Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714). Ia
merupakan sultan yang dikenal gagah berani dan banyak menyelesaikan permasalahan
dengan senjata. Akibatnya, Kesultanan Palembang perna kehilangan salah satu
daerah kekuasaannya, yaitu Muara Tembesi di Jambi. Ketika Jayo Ing Lago tidak
lagi berkuasa, terjadi kemelut politik pada masa itu perihal siapa yang pantas
menggantikan Jayo Ing Lago yang meninggal karena di racun. Tahta kekuasaan
kemudian dipegang adik Jayo Ing Lago, Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno
(1714-1724). Putra-putra Jayo Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran
Mangkubumi Mohamad Ali menolak keputusan tersebut dengan melakukan
pemberontakan.
Sultan
Agung Komaruddin kemudian berinisiatif untuk berdamai dengan kedua keponakannya
tersebut dengan cara mengangkat pangeran Mangkubumi Mohamad Ali sebagai Sultan
Anom Muhammad Alimuddin dan Raden Lembu sebagai Pangeran Jayo Wirakmo. Tetap
saja keputusan tersebut belum dapat memuaskan kedua belah pihak karena ternyata
pangeran Jayo Wirakmo lebih diuntungkan dengan mendapatkan Putri Sultan Agung
Komaruddin sebagai pasangannya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya konflik
antar saudara. Pangeran Jayo Wirakmo memenangkan peperangan tersebut yang
mengantarkan dirinya sebagai Sultan dengan gelar Mahmud Badaruddin Jayo Wirakmo
(1724-1758).
Sultan
Mahmud Badaruddin Jayo Wirakmo (Badaruddin I) merupakan sosok pemimpin yang
berwawasan luas dan memiliki pengalaman yang amat memadai. Ia perna mengagas
pentingnya memperbarui kesultanan dengan mengintrodusir pengetahuan dan
teknologi yang baru, tanpa meninggalkan tradisi dan agama yang telah lama
mapan. Ia melakukan perubahan dan pembangunan Kesultanan Palembang kea rah yang
lebih maju. Di antara bentuk bangunan fisik yang didirikan pada masanya, yaitu
: Masjid Agung, Kuta Batu (Kuta Lama), Makam Lemabang, tambang timah Bangka,
terusan-terusan di pedalaman. Ia juga mengembangkan sistem perdagangan dan
ekonomi Kesultanan Palembang kea rah yang lebih maju. Pada masanya syiar dan
dakwah keagamaan Islam mulai berkembang pesat. Maka, tidak aneh jika dikatakan
bahwa banyak ulama di nusantara yang berasal dari wilayah Kesultanan Palembang
ini. Setelah Sultan Badaruddin I meninggal, tahta kekuasaan Kesultanan
[Palembang kemudian dipegang oleh Sultan Ahmad NajaMuddin (1758-1776). Tidak
banyak data yang membincangkan sejarah kepemimpinan sultan ini. Namun, yang
pasti bahwa ia lebih banyak mengembangkan perkembangan Islam tentang
kesusastraan. Setelah ia meninggal, tahta kekuasaan kemudian digantikan oleh
Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804).
Masa
kekuasaan Sultan Muhammad Bahauddin juga dikenal sebagai periode pemerintahan
Kesultanna Palembang Darussalam yang cukup berhasil. Pada masanya, perekonomian
kesultanan meningkat tajam karena sultan sangat menguasai teknik bagaimana
caranya berdagang yang bagus, termasuk berdagang dengan VOC. Bahkan, VOC merasa
kesal dengan monopoli perdagangan sultan Muhammad Bahauddin yang menyebabkan
konrak-kontrak mereka sering ditolaknya. Ternyata, Sultan Bahauddin lebih suka
berdagang dengan Inggris, China, dan orang-orang Melayu di Riau. Dampak dari
kebijakan seperti ini justru menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi keuangan
kesultanan. Sehingga, kemakmuran Kesultanan Palembang Darussalam meningkat
tajam.
Bentuk
dari kemakmuran tersebut dapat dibuktikan dengan peninggal;an-peninggalan
bersejarah yang bernilai sangat penting. Pada tahun 1780, Sultan Bahauddin
perna membangun Keraton Kuto Besak yang boleh dianggap sebagai keraton terbesar
dan terindah di nusantara. Bentuk kemakmuran kesultanan juga berupa
berkembangnya bidang kesenian dan kesusasteraan pada saat itu. Dalam kurun
waktu 1750-1800, Kesultanan Palembang Darussalam perna menjadi pusat sastra
melayu setelah Kesultanan Aceh yang menjadi pusat Kesusastraan sebelumnya
mengalami masa stagsi. Pada tahun 1804, Sultan Mahmud Badaruddin II menggatikan
ayahnya (Sultan Bahauddin). Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa perjuangan
melawan colonial Inggris dan Belanda. Pada tahun 1811, Sultan Badaruddin II
berperang dengan Belanda-Perancis yang dikenal dengan peristiwa Loji Sungai
Aur. Pada tahun 1812, ia menghadapi serbuan armada Inggris. Selain itu, ia juga
berperan dalam peperangan yang lain, seperti Perang Palembang 1819 Babak I dan
II serta Perang Palembang 1821. Atas perjuangannya melawan kolonialisme, ia
dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Sultan
Ahmad Najamudin II atau Sunan Husin Dhiauddin meneruskan kesultanan
berikutnya (1813-1817). Ia merupakan
saudara dari Mahmud Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian
dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Mahmud Badaruddin II
perna hijrah ke Muara Ruwas, dan dalam kurun waktu antara tahun 1813, ia juga
perna dipecat oleh Inggris dan Belanda yang perna menguasai Wilayah Kesultanan
Palembang. Meski demikian, posisi dirinya sebagai sultan yang sah masih tetap
eksis hingga 1821. Sultan yang ke-9 di kesultanan Palembang Darussalam adalah Sultan
Najamuddin III atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Ratu (1919-1921). Ia
merupakan putra dari Sultan Badaruddin II, yang dilantik dengan ayahnya hingga
1921. Pada tahun ini, ayahnya (Sultan Badaruddin II) ditangkap oleh pemerintah
Belanda. Sebelum diasingkan ke Ternate, ia beserta keluarga dan para pengikut
setiannya yang mencangkup permaisuri, sejumlah anaknya, para ulama, dan
panglima kesultanan, diasingkan ke Batavia terlebih dahulu. Tidak semua
keluarga dan para pengikut setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya,
dibawah ke pengasingan karena keterbatasan kapal.
Setelah
Sultan Badaruddin II tidak lagi memimpin karena berada di pengasingan, tahta
kesultanan kemudian di pegang oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV atau yang lebih
dikenal sebagai Prabu Anom (1821-1823). Ia merupakan anak dari Husin Dhiauddin
(Sultan Najamuddin II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang
Darussalam berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda. Pada tahun 1823, ia
melakukan pemberontakan kepada Belanda karena kontrak yang dibuat pihak
colonial sangat merugikan kedudukannya sebagai sultan. Pada tahun ini pulaia
sudah tidak lagi memimpin kesultanan karena dipecat oleh Belanda dan pada tahun
1925 ia baru bisa ditangkap yang menyebabkan dirinya dibuang ke Manado.
Pemerintah Belanda membubarkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1925.
Pemerintah belanda sebenarnya berharap bahwa Kesultanan Palembang Darussalam
masih tetap eksis. Berdasarkan pengakuan dari keluarga keturunan Sultan
Badaruddin II di Ternate yang diteliti oleh seorang budayawan, Djohan Hanafiah,
pihak Belanda perna menawarkan kepada Sultan Badaruddin II agar mau memimpin
kembali. Namun, Sultan Badaruddin menolak secara tegas. Alasannya, ia tidak
ingin terjadi perpecahan. Ia pun berpesan agar sebaiknya Kesultanan Palembang
dibubarkan saja.
Setelah
lama tidak eksis lagi, terdapat salah seorang keturunan Kesultanan Palembang
Darussalam bernama Sultan ISkandar Mahmud Badaruddin yang menjadi sultan ke-11
sejak tahun 2006. Ia merupakan keturunan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago
dan Juga Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Pengakuan Sultan Iskandar
Mahmud Badaruddin telah direstui oleh ahli nasab Kesultanan Palembang
Darussalam, yakni R.M Yusuf Prabu Tenaya yang merupakan zuriat dari Sultan
Ahmad Najmuddin Pangeran Ratu bin Sultan Mahmud Badaruddin II, serta R,M.
Syarifuddin Prabu Anom dari zuriat Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom.
D. Struktur Pemerintahan
Menurut
Hanafiah (1995), selama memerintah,
Sultan Abdurrahman telah meletakkan adat kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
yang kuat. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah
pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan
peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam),
yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan
Palembang seperti, Bangka, Belitung, Sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu
(Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Museji) (Hanafiah 1995:197-200).
Dalam
bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu
untuk mengembangkan tanaman lada. Ia membuat sistem perairan yang dibuat antara
Ogan, Komering dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun
juga untuk kepentingan pertahanan.
Dalam
mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam memilih
sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah satu sikap komromistis
penguasa dilakukan dengan jalan lembaga perkawinan (Harfiah, 1995: 169).
Sebagai contoh, Sultan Abdurrahaman perna menalangsungkan perkawinan dengan
puteri penguasa Bangka. Imbas dari perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman
mendapatkan warisan kepulauan Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah
kekuasaan Kesultan Palembang Darussalam. Selain menggunakan lembaga perkawinan,
penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam juga menunjukan sikap untuk lebih
menghormati adat setempat yang berlaku di masing-masing komunitas adat.
Kehidupan hukum masyarakat yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan
sesuai dengan tradisi masing-masing. Di lain, tempat konstruksi hukumnya
mengalami perubahan hak ulayat kepala-kepala (rakyat yang turun-temurun
misalnya, tetap berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut
seolah-olah didasarkan atas satu karunia dari pada seorang sultan. (B.J.O
Schrieke, 1974 dalam Hanafiah : 169-170)
Setiap
kompromis Kesultanan Palembang dapat di buktikan ketika undang-undang Simbur
Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah.
Undang-undang Simbur Cahaya merupakan suatu pedoman yang mengatur adat
pergaulan bujang gadis, dat perkawinan, piagam, dan lain sebagainnya.
Undang-undang ini disusun oleh Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat
IV (1639-1650) bersama sang isteri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang
Darussalam masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9).
Undang-undang Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan
telah beralih kebentuk Kesultanan.
Menurut
J,W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain mengukuhkan
(vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W. van Royen, 1927:40
dalam Harfiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang secara jelas digambarkan
oleh P. dee Roo de Faille (197:40 dan 57),
“Orang Pasemah bukan semata-mata orang
bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sulatan yang
dilindunginya, meskipun mereka telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai
tugas dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan
pada kekuasaan”
Secara struktural, sultan
menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi. Kedudukan sultan bermakna dua,
sebagai pemimpin wilayah sekaligus sebagai pelindung agama. Pemerintahan
tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota
kesultanan yang berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar
wilayah ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak
didasarkan atas pertimbangan territorial, namun lebih disebabkan karena faktor
kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul
wilayah-wilayah sebagai berikut :
1. Sindang
Adalah sebutan
untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan. Penduduk di
daerah memperoleh status mardika (merdeka atau bebas). Tugas untuk penduduk
daerah perbatasan adalah menjaga pebatasan (Harfiah, 1995:171).
2. Kepungutan
Merupakan
sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam pengawasan kekuasaan sultan.
Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang
disebut tiban atau tukon. Tiban adalah kewajiban bagi penduduk di daerah
kepungutan untuk memproduksi komiditi ekspor seperti lada atau menambang timah.
Komiditi ini menjadi hak (monopoli) Keaultanan Palembang Darussalam dalam
pemasarannya. Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan
tiban. Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran.
(Harfiah, 1995:171).
3. Sikap
Merupakan suatu
wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian di Istana
Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya daerah sikap terikat dengan
kewajiban seperti menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana. Daerah
sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan
jenang (pemimpin suatu wilayah diluar ibukota kesultanan). Hanya saja,
kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak
petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah(sikap), namun harus membayar
pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, mereka sama-sama tidak
berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
E. Ekonomi
Kesultanan
Palembang berada di kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang
terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga
berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan
telah diperdagangkan sejak abad ke-18.
F. Peperangan
Pada
tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang
berada di Palembang, sehingga Thomas Stamfort Bingley Raffles mengirimkan
pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan
diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamudin
II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud
Badruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya
diturunkan kembali oleh Raffles dan
mengangkat kembali Sultan Ahmad Najmuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan
keluarga dalam Kesultanan Palemabng.
Pada
tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan
menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Njajamuddin II dan
mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit
melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud
Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan pasuka Hindia
yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe).
Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda
kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II
yang kemudian diasiingkan ke Ternate. Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan
Ahmad Najamuddin III anak Sultan Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun
pada tahun 1823 Belanda menjadikan Kesultanan Palembang berada di bawah
pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasaan di kalangan Istana.
Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan muadah
dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah
kemudian diasingkan ke Banda Neira.
G. Peninggalan-Peninggalan Kesultanana
Palembang
Adapun
peninggalan-peninggalan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah
sebagai berikut :
1. Masjid
Agung
2. Beteng
Kuto Besak
3. Keraton
Kuto Besak
H.
Keruntuhan
Kesultanan Palembang
Serah
terima keratin dengan seluruh kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam
dilaksanakan oleh putra Badaruddin yaitu Prabukesuma dan menantunya Pangeran
II. Kramajaya kepada Kolonel Bischoff pada tanggal 1 Juli 1821. Tanggal 16 Juli
1821 Jenderal De Kock melantik Prabu Anom menjadi Sultan Najamudin IV dan ayahnya
Husin Dhiauddin menjadi susunan (Najamuddin II). Kesultanan Palembang dijadikan
bagian dari Keresidenan Palembang di bawah pemerintahan colonial Belanda sesuai
perjanjian yang diadakan pada tanggal 18 Mei
1823. Selanjutnya Sultan Najamuddin IV mendapat gaji dari pemerintah
colonial. Pelaksanaan perjanjian ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1823.
Tindakan
Belanda ini membawa konsekuensi kemarahan yang terpendam di keluarga Sultan
maupun rakyat di pedalaman Musi Rawas. Pada bulan November 1824 Sultan dibantu
keluarga serta alim-ulama meneyerbu ke garnisum Belanda di Kuto Besak. Serangan
ini tak membawa hasil, Sultan Najamuddin Melarikan diri ke daerah Ogan. Akan
tetapi karena ditinggalkan pengikut-pengikutnya, kemudian menyerang kepada
Belanda pada bulan Agustus 1825, kemudian dibawah ke Batavia dan di buang ke
pulau Banda akhirnya di pindahkan ke Manado pedalaman. Untuk itu Belanda
mengakat keluarga (menantu) mantan SDultan Badaruddin II, Pangeran Kramo Jayo
(Kramajaya) Sebagai Perdana Menteri, karena kerabat Badaruddin II inilah yang
mempunyai Kharisma di depan rakyat.
Rakyat
pedalaman masih mengharapkan kembalinya Kesultanan Palembang dan dengan
lemahnya pemerintah timbullah pergolakan-pergolakan bahkan colonial di
pedalaman, pemberontakan terutama di daerah pesemah. Adanya peristiwa-peristiwa
yang memusingkan pemerintah colonial ini, Belanda tidak dapat mempercayai
Pangeran Kramo Jayo dan Belanda menuduhnya terlibat. Kemudian ia di pecat dan
di buang ke Jawa pada tahun 1851. Dengan demikian habislah sisa-sisa peranan
kekuasaan Kesultanan Palembang dan berganti dengan kekuasaan colonial Belanda
secara mantap.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
kami tulis kami menyimpulkan bahwa Kesultanan Palembang Darussalam berdiri
selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1659 hingga tahun 1825. Sebelum
kesultanan ini berdiri sebenarnya telah ada terlebih dahulu Kerajaan Palembang
yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam.
Dan di sana terdapat beberapa pemimpin yang memimpin
Kesultanan Palembang yaitu Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman
(1659-1706 M), Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714 M), Sultan
Agung Komaruddin Sri Truno (1714-1724 M), Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi
sultan tetapi tidak memerintah), Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo (Sultan
Badarudin I) (1724-1758 M), Sultan Ahmad Najmudin (1758-1776 M), Sultan
Muhammad Bahauddin (1776-1804 M), Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul
Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804-1812 M), Sultan Ahmad
Najmuddin II Husin Diauddin (1813-1817 M), Sultan Ahmad Najmuddin III Prabu
Ratu (1819-1821 M), Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M), Sultan
Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Bdaruddin III) (2003). Sultan
Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-sekarang).
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar