A. Awal berdirinya
Kerajaan Palembang
Sejarah
berdirinya Kerajaan Palembang tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
pada abad ke-12. Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat dikalahkan oleh Kerajaan
Majapahit. Ketika Sriwijaya runtuh sebagai pusat niaga, maka lahirlah suatu
daerah atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong
(yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang). Sepeninggalan
Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di dalamnya masih
terdapat suatu tumpuan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang masih dikenal
sebagai Ku-kang (dalam bahasa China) atau Pelabuhan Lama. Kota Palembang
menjadi tumpuan pelabuhan internasional yang secara khusus banyak disinggahi
pedagang-pedagang dari China. Bahkan, kota ini pernah menjadi enclave
(daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.
B. Sejarah
Kerajaan Palembang
Sejarah mengenai Kesultanan
Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang
tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari
raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati
Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang
sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke
Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam
dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya
berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar =
dillah = lampu).
Ario Dillah mendapat hadiah dari
Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya
keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk
Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke
Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden
Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di
istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu
dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI
II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan
menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan
putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.
Setelah kerajaan Majapahit bubar
karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo,
mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya.
Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah
lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden
Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun
1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan
Palembang Sayidin Panata’Gama.
C. Struktur Pemerintahan
Pemerintahan Kerajaan Palembang
didasarkan pada prinsip tradisional, yaitu adanya hubungan antara makrokosmos dan
mikrokosmos. Artinya, raja Pada
masa awal Kerajaan Palembang, gelar yang dipakai pertama kali adalah Kyai Gede
disingkat (Ki Gede). Dalam struktur masyarakat Jawa, gelar Kyai (Ki) adalah
gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap bijak atau
memiliki asal usul keningratan. Sedangkan untuk perempuan gelarnya adalah Nyai
(Nyi). Gede/Ageng artinya Besar atau Agung. Jadi sebutan Kyai Gede memiliki arti
bahwa beliau merupakan seorang pemimpin masyarakat dan termasuk ke dalam
golongan elit bangsawan.
Pemimpin
kerajaan Palembang adalah orang yang mendapat kharisma dan legitimasi, yang
memiliki kekuatan diri sebagai gusti dan kawula karena mendapat wahyu
dari Tuhan. Sedangkan struktur pemerintahannya berbentuk feodalisme, yaitu Ki
Gede berperan sebagai pemimpin masyarakat.
Wewenang pemerintahan sepenuhnya
dipegang oleh Ki Gede yang bertindak sebagai kepala eksekutif sekaligus kepala
keagamaan, yang bertanggung jawab kepada Tuhan.
Pemerintahan
tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kerajaan
yang berupa keraton dan mancanegaro yang berupa lingkungan di luar wilayah
ibukota kerajaan. Pembagian wilayah mancanegaro tidak didasarkan atas
pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan atau
manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah
sebagaimana
berikut:
- Sindang, yaitu wilayah yang dimanfaatkan sebagai batas Kerajaan Palembang agar warganya dapat mempertahankan daerahnya dari serangan dari luar. Warga di wilayah ini dibebaskan dari kewajiban membayar pajak atau pungutan tertentu.
- Sikep, yaitu dusun atau marga yang secara khusus menjadi tanggung jawab golongan priyayi yang disebut dengan “jenang”. Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikep), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
- Daerah yang dikuasai langsung oleh pemimpin masyarakat atau disebut dengan “pungutan”. Pajak tidak berlaku di wilayah ini, namun yang berlaku adalah “siban” dan “tukon”, yaitu semacam monopoli komoditi oleh pemimpin yang dijual kepada rakyat.
D. Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden Fatah
wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor
yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran
Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid
Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara
saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran
Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran
Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing
Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu
Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya
Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran
Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati
penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang
dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun
yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.
Dalam kemelut yang terjadi atas
penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran
Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang,
dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang
dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian
menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto
Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang.
Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi
dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan
asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan
Palembang.
E. Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari
Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir.
Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari
Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram
(dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan
atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram
dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan
Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan
Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat
dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang
terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang
keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap
sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad
(1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang
(diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang
berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini
dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama kemudian terdapat
golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi
mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang
karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram,
sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang
termasuk Palembang juga merenggang.
Palembang yang semula merupakan
bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan
demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin
renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan
VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa
Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap
penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC
menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan
kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya
Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng
Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral
di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC
(Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi
pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai
wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena
belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin
mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu
mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan
antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya.
Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang
letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi,
sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen
dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak
menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina
bermuatan lada.
Kemudian VOC menggantikannya dengan
Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk
jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke
Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra
mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal
22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung
Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek)
naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan
membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang
Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan
orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang
Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van
der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana
Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya
menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).
F. kejayaan kerajaan
palembang
Berbicara mengenai kerajaan
Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya akan membahas mengenai
masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Palembang dalam bagian kedua abad ke-18
telah menuju ke hari depan yang baik, yaitu pada masa Sultan Susuhunan Mahmud
Badaruddin H. Ia menjalankan pemerintahan secara bijaksana. Perdagangan
berkembang pesat dan timah telah memperkaya kerajaan. Di Kesultanan Palembang hak
pemakaian tanah diserahkan kepada marga dengan menghormati batas-batas antara
marga yang telah ditetapkan.
keputusan hukuman dalam kerajaan Palembang terletak ditangan raja atau pembesar-pembesar kerajaan. Jika
terjadi perselisihan diantara marga raja dapat bertindak sebagai penengah,
demikian juga dalam perselisihan masalah tanah. Raja berhak menerima jasa-jasa
dari penduduknya. Selain pajak, pendapatan lain kesultanan adalah
"dibantukan" yakni suatu perdagangan monopoli primitif yang tidak
berdasarkan pengertian melayu.
Dalam sistem ini raja atau
pembesar pembesar kerajaan tertinggi membeli barang dengan harga vang murah dan
harga pasar. Inilah yang disebut dengan "beli-beli natal". Pendapatan
vang terpenting adalah dari monopoli yang ditetapkan, yaitu duapuluh ribu pikul
dalam setahun. Keuntungan dari hasil jual beli inilah yang dipergunakan oleh
sultan untuk membangun kembali keraton..
G. kehidupan Sosial-Budaya
Struktur
penduduk dalam pemerintahan Kerajaan
Palembang terbagi ke dalam dua golongan, yaitu:
- Priyayi. Golongan ini merupakan turunan raja-raja (sultan-sultan) atau kaum ningrat. Kedudukan ini biasanya diperoleh atas dasar keturunan atau atas perkenan dari sultan sendiri.
- Rakyat. Golongan ini terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok “miji” atau di daerah pedalaman disebut dengan istilah “mata-gawe”, yang mencakup seperti petani dan sebagainya. Kelompok ini biasanya menggalang orang-orang yang mau berperang bersama sultan atau melakukan pekerjaan tangan dan karya-karya seni. Setiap miji mempunyai sejumlah “alingan” (keluarga), yang tugasnya adalah membantu pekerjaan miji. Kedua, kelompok “senan”, yaitu golongan rakyat yang lebih rendah dari miji, namun memiliki keistimewaan tersendiri. Maksudnya, kelompok ini tidak boleh dipekerjakan oleh siapapun kecuali hanya untuk sultan, misalnya membuat atau memperbaiki perahu-perahu dan rumah-rumah sultan atau mendayung perahu untuknya.
Setelah Kerajaan Palembang runtuh, banyak hal yang mulai
berubah seiring perkembangan zaman. Misalnya, corak pemerintahan di Kota
Palembang yang dulunya lebih tergantung dengan orang-orang Jawa kini sudah
lagi.
H. Wilayah kekuasaan
Kekuasaan
Kerajaan Palembang adalah mencakup wilayah yang kini dikenal dengan Provinsi
Sumatera Selatan.
I. Silsilah
Dari beberapa temuan silsilah serta
catatan mengenai sejarah Palembang, maka dapat dilihat bahwa gelar kebangsawan
Palembang telah ada sejak masa awal terbentuknya Kerajaan Palembang yang
dipakai oleh para Priyai-priyai yang sebagian berasal berasal dari tanah Jawa.
Pada masa awal Kerajaan Palembang,
gelar yang dipakai pertama kali adalah Kyai Gede disingkat (Ki Gede). Dalam
struktur masyarakat Jawa, gelar Kyai (Ki) adalah gelar kehormatan yang
diberikan kepada seseorang yang dianggap bijak atau memiliki asal usul
keningratan. Sedangkan untuk perempuan gelarnya adalah Nyai (Nyi). Gede/Ageng
artinya Besar atau Agung. Jadi sebutan Kyai Gede memiliki arti bahwa beliau
merupakan seorang pemimpin masyarakat dan termasuk ke dalam golongan elit
bangsawan.
Gelar ini digunakan oleh Ki Gede Ing
Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan beserta saudaranya Ki Gede Ing Ilir. Mereka
inilah peletak dasar pertama sistem kerajaan Islam Palembang. Sepeninggalnya Ki
Gede Ing Suro, tahta kerajaan jatuh kepada keponakannya yang bernama Kemas Anom
Dipati Jamaluddin bin Ki Gede Ing Ilir. Pemberian nama Kemas/Ki Mas/Kyai Mas di
mulai pada masa ini. Mas berarti Yang Mulia. Seluruh putra-putri Kemas Anom
Dipati Jamaluddin diberi nama sesuai dengan nama orang tuanya. Namun ketika
Kemas Anom Dipati Jamaluddin naik tahta ia masih diberi gelar mengikuti gelar
pamannya yaitu Ki Gede Ing Suro (Mudo) untuk menghormati pamannya tersebut.
Inilah masa terakhir digunakannya gelar Ki Gede sebagai gelar pembesar
kerajaan.
Kemudian setelah itu Ki Gede Ing
Suro (Mudo) atau Kemas Anom Dipati Jamaluddin mewariskan tahta kerajaan kepada
putranya yang bernama Kemas Dipati. Namun gelar Kemas untuk penguasa kerajaan
Palembang ini pun tidak bertahan terlalu lama. Ketika Palembang mulai berada
dibawah kekuasaan Kesultanan Mataram, gelar yang digunakan oleh pewaris tahta
kerajaan adalah gelar Pangeran. Gelar Pangeran berarti yang memerintah. Gelar
ini diberikan kepada anak laki-laki dari Raja. Tetapi gelar ini tidak otomatis,
artinya gelar hanya diberikan atas perkenan Raja. Oleh karena itu gelar ini
sering juga diberikan raja kepada orang yang dikehendakinya. Sementara
putra-putra raja yang lain masih tetap diberikan gelar Kemas.
Perlu menjadi catatan, bahwa pada
masa itu tradisi pemakaian gelar berdasarkan sistem “Bilateral” yaitu sistem
kekerabatan yang memakai salah satu dari dua garis keturunan dari Bapak/Ibu
(garis Laki-laki/Wanita) tradisi dan Budaya Jawa.
Perubahan gelar penguasa dan
keturunan palembang mulai terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ratu Jamaluddin
Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) bin Tumenggung Manco Negaro. Sebagai keturunan
dari penguasa Jawa, yaitu Prabu Satmata Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden
Paku) ia mulai menggunakan pemberian gelar Raden dan Raden Ayu kepada sebagian
putra-putrinya. Apalagi ditunjang pernikahannya dengan keturunan Panembahan
Kalinyamat yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Kesultanan Mataram.
Meskipun begitu, sebagian putra-putrinya yang lain masih diberikan gelar Kemas
maupun Masayu.
Puncaknya perubahan gelar dan
struktur kerajaan Palembang terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim
(Kemas Hindi). Karena merasa bahwa dukungan dari Kesultanan Mataram sudah mulai
berkurang dalam menghadapi serbuan kerajaan lain, maka beliau mengambil
keputusan untuk memisahkan diri dari kekuasaan Kesultanan Mataram serta
memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan.
Lalu kepada anak-anaknya beliau memberikan gelar Raden dan Raden Ayu. Sedangkan
untuk Putra Mahkota gelar yang Tertinggi adalah Pangeran Ratu (Biasanya anak
laki-laki tertua dari Sultan). Namun demikian pernah terjadi Sultan memberi
gelar anak laki-lakinya yang tertua dengan gelar Pangeran Adipati atau Prabu
Anom . Gelar Pangeran Adipati dipakai oleh anak tertua dari Sultan Abdurrahman
yang tidak sempat menjadi raja, dan kedudukannya digantikan oleh adiknya
Pangeran Aria (Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago) dan pada tahun 1821-1825
pemberian dan pemakaian gelar Prabu Anom dilakukan Oleh Sultan Ahmad Najamuddin
II (Husin Dhiauddin). Hal ini dilakukan karena anak laki-laki dari saudaranya
yang tertua (anak Sultan Mahmud Badaruddin II) yang masih hidup telah memakai
gelar Pangeran Ratu. Gelar Prabu adalah gelar yang diberikan kepada anak
laki-laki Sultan ketika sultan sedang berkuasa.
Mengenai pemakaian gelar Ratu, gelar
ini biasanya diberikan kepada Putri Raja yang naik tahta atau Permaisuri (Istri
raja) yang disebut dengan Panggilan Ratu Agung atau Ratu Sepuh. Selain itu
gelar ini juga diberikan kepada keempat isteri pendamping, karena pada umumnya
raja memiliki istri lebih dari satu tetapi bukan selir.Selain Ratu Sepuh
ratu-ratu yang lain diberi gelar tambahan/memiliki panggilan tersendiri seperti
Ratu Gading, Ratu Mas. Ratu Sepuh Asma, Ratu Ulu, Ratu Ilir, dsb).
Silsilah berikut ini, yaitu periode
Kerajaan Palembang (sebagai cikal bakal Kesultanan Palembang) sebagai berikut:
a. Periode Kerajaan Palembang
1.
Ario Abdillah (Ario Dila, sebelumnya
bernama Ario Damar) (1455-1486)
Arya
Damar adalah pahlawan legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh
masyarakat Jawa. Dalam naskah-naskah babad dan serat, misalnya badan tanah Jawi
tokoh Arya Damar disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja raja Demak pertama
Dikisahkan ada seorang raksasa
wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia
pun mengubah wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera
ditemukan oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar
kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.
Namun, ketika sedang mengandung,
Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir
oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung
Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah.
Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi
ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua
binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan
akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.
Jaka Dilah kemudian diangkat sebagai
bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan
seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama Ratu
Dwarawati (Putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada Arya
Damar untuk dijadikan istri.
Arya Damar membawa putri Cina ke
Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah.
Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian
terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden
Kusen.
Setelah dewasa, Raden Patah dan
Raden Kusen meninggalkan Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi
raja Demak pertama, dengan bergelar Panembahan Jimbun.
2.
Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552)
Pangeran Seda ing Lautan (Pangeran
Sidang Lautan), merupakan seorang pengikut setia Raden Patah. Ketika Kesultanan
Demak berdiri, ia pergi dari tanah kelahirannya Palembang menuju tanah Jawa,
untuk membantu Raden Patah membangun kekuatan militer Kesultanan.
Pada sekitar awal abad ke-16,
Pangeran Seda ing Lautan mendapat tugas dari Kesultanan Demak, untuk
mempersiapkan armada perang di Palembang.
Di tahun 1511 Malaka dikuasai oleh
Potugis. Perlakuan Portugis ini tentu membuat marah Kesultanan Demak.
Pada tahun 1512, Balatentara Demak
dibantu armada dari berbagai daerah, melakukan penyerbuan ke Malaka.
Pasukan militer Palembang, dibawah
pimpinan Pangeran Siding Lautan, ikut bergabung dalam pertempuran ini. Namun
sudah menjadi suratan takdir, serangan Pasukan Gabungan ini mengalami
kegagalan, dan Pangeran Sidang Lautan wafat dalam peperangan (Sumber : Buku
“Sejarah Daerah Sumatera Selatan”, tulisan Drs. Ma’moen Abdullah, hal. 59-71).
3.
Kiai Gede Ing Suro Tuo (1552-1573)
Raja pelembang baru yang pertama adalah Ki Hang Suro Tuo
Sangaji Lor yang memerintah dari tahun 1550 s/d 1555 masehi. Beliau adalah cucu
dari Raden Fattah Sultan Demak atau anak dari Raden sedakali Pangeran Seberang
Lor seda Ing Lautan Pati Unus sultan Demak II.
Jika pada masa pemerintahan Prabu Ariodillah (Ariodamar)
Kerajaan Pelembang dinamakannya PELIMBANGAN yang lokasinya adalah kampung
tatang 36 ilir Pelembang sekarang ini. Maka pada masa Ki Hang Suro Tuo, nama
PELIMBANGAN digantinya menjadi PELIMBANG BARU Yang berlokasi di batu Hampar
seberang ilir pelembang lama sekarang ini. Ki Hang Suro Tuo Sangaji Lor wafat
pada tahun 1555 masehi.
4.
Kiai Gede Ing Suro Mudo (Kiai Mas
Anom Adipati Ing Suro) (1573-1590)
Disebabkan KI HANG SURO TUO (atau KI GEDE ING SURO TUO)
tidak mempunyai anak, maka Raja Pelimbang ke II ialah kemenakannya sendiri yang
bernama Ki Gede ing Suro Mudo anak dari Sunan Ampel Denta Surabaya dan ibunya
Nyai Gede ing ilir adik dari Ki Gede Ing suro Tuo. Ki Gede Ing Suro Mudo
meninggal dunia pada tahun 1589 setelah memerintah selama 34 tahun (1555 –
1589) dan dimakamkan dipemakaman Batu Hampar dekat makam Ki Gede ing Suro Tuo.
5.
Kiai Mas Adipati (1590-1595)
Raja Pelimbang Baru berikutnya yang ke III adalah anak Ki
Gede ing Suro Mudo, yaitu Ki Mas Adipati Angsoko bin Ki Gede ing Suro Mudo yang
memerintah selama 5 tahun saja (1589-1594) Lokasi Istana kerajaannya tidak lagi
di Batu Hampar tetapi dipindahkan ke TALANG JAWA LAMA.
6.
Pangeran Madi Ing Angsoko
(1595-1629)
Raja Pelimbang ke IV yaitu PANGERAN MADI ANGSOKO Bin KI
GEDE ING SURO MUDO Oleh karena ketika Ki Mas Adipati Angsoko meninggal dunia,
anaknya yang bernama Pangeran Seda ing Kenayan masih kecil, maka Tahta Raja
Pelimbang ke IV jatuh kepada saudaranya sendiri bernama PANGERAN MADI ANGSOKO
yang memerintah selama 30 tahun (1594 – 1624) dan ketika meninggal tidak
meninggalkan anak, maka tahta diserahkan kepada adiknya bernama PANGERAN MEDI
ALIT ANGSOKO.
7.
Pangeran Madi Alit (1629-1630)
Raja Pelimbang ke V adalah PANGERAN MEDI ALIT ANGSOKO Bin
KI GEDE ING SURO MUDO Raja Pelimbang baru yang ke V ini hanya memerintah selama
satu tahun saja (1624-1625) dan tidak juga mempunyai anak, dan Beliau
digantikan oleh adiknya yang.bernama PANGERAN SEDA ING PURO ANGSOKO
8.
Pangeran Sedo Ing Puro (1630-1639)
Raja Pelimbang ke VI adalah PANGERAN SEDA ING PURO ANGSOKO
Bin KI GEDE ING SURO MUDO Pengeran Seda Ing Puro Angsoko memerintah selaku Raja
Pelimbang selama 7 tahun (1625 – 1632) dan Beliaupun tidak ada meninggalkan
anak, Kedudukannya digantikan oleh anak Kakaknya (KI MAS ADIPATI ANGSOKO) yang
bernama PANGERAN SEDA ING KENAYAN.
9.
Pangeran Sedo Ing Kenayan
(1639-1650)
Raja Pelimbang ke VII adalah PANGERAN SEDA ING KENAYAN
SABO ING KINGKING Bin KI MAS ADIPATI ANGSOKO.
Pangeran seda Ing Kenayan adalah Anak Ki Mas Adipati
Angsoko (Raja ke III) Pangeran Seda Ing Kenayan tidak lagi meneruskan dinasti
Angsoko tetapi telah membuat dinasti baru yaitu dinasti Sabo Ing King King,
Beliau memerintah selama 12 tahun (1632 – 1644) lokasi istananya dipindah pula
ke daerah Sabo KingKing Kelurahn 1 ilir Palembang lama sekarang Pangeran Seda
ing Kenayan Sabo ing KingKing beristrikan saudara misan / sepupuhnya sendiri
yaitu Ratu Sinuhun Simbur Cahaya, Merekapun tidak memiliki anak. Dengan
demikian habislah Keturunan ki Gede ing Suro Mudo atau keturunan Sunan Ampel
Denta Surabaya
10.
Pangeran Sedo Ing Pesarean
(1651-1652)
Raja Pelimbang ke VIII yaitu PANGERAN MOH ALI SEDA ING
PASAREAN SABO ING KINGKING, Oleh karena Suami Istri Pangeran Seda Ing Kenayan
dan ratu sinuhun simburcahaya tidak menurunkan anak maka Tahta kerajaan
dilimpahkan kepada saudara tua (kakak) Ratu Sinuhun bernama Pangeran Moh.Ali
Seda ing Pasarean gelar Sultan Jamaluddin Mangkurat V turunan ke 4 dari Raden
Paku Moh.Ainulyakin Prabusatmoto joko samudro Sunan Giri gresik Wali songo bin
Maulana Ishak Mahdum Syech Awalul Islam Samudra Pasai Aceh.
Pangeran Moh.Ali Seda Ing Pasarean atau Sultan Jamaluddin Mangkurat V ini hanya memerintah selama satu tahun (1644-1645) karena mati terbunuh (diracun) oleh pegawai Keraton Sabo kingking sendiri.
Pangeran Moh.Ali Seda Ing Pasarean atau Sultan Jamaluddin Mangkurat V ini hanya memerintah selama satu tahun (1644-1645) karena mati terbunuh (diracun) oleh pegawai Keraton Sabo kingking sendiri.
11.
Pangeran Sedo Ing Rajek (1652-1659)
Raja Pelimbang ke IX yaitu PANGERAN SEDA ING RAZAK
(SULTAN ABDURROHIM JAMALUDDIN MANGKURAT VI) Bin Mohammad ali Seda Ing Pasarean Turunan
ke – 5 dari Sunan Giri Gresik walisongo, Pangeran Seda ing Razak ini adalah
Dinasti Sabo KingKing terakhir, Istana Sabo KingKing dibumi hangus oleh
Angkatan Laut Belanda, maka Sultan Abdurrohim Jamaluddin Mangkurat VI ini
beserta keluarganya berhijrah ke Indralaya OKI. Dan Beliau menjadi Sultan di
Indralaya. Adapun sebab perang dengan Belanda karena Seda ing Razak tidak mau
mengakui VOC dan tidak mau menandatangani kontrak, akhirnya Loji VOC di batu
hamper dibakar oleh rakyat atas perintah Sultan. Beliau dimakamkan di desa SAKA
TIGA Beliau memerintah selaku Raja Pelimbang ke IX selama 14 tahun (1645-1659)
dan memerintah selaku Sultan di Indralaya selama 32 tahun (1659 – 1691).
DAFTAR PUSTAKA
. 2015. [Misteri]
Pangeran Seda ing Lautan, dan awal berdirinya Kerajaan Palembang. Alamat akses: https://kanzunqalam.com/2015/09/20/misteri-pangeran-sideng-lautan-dan-awal-berdirinya-kerajaan-palembang/
Wikipedia. 2016. Arya Damar. Alamat akses: https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Damar
Yusuf
Yordan. 2014. Makalah Mantap Kerajaan
Palembang. Alamat akses: http://makalah-mantap.blogspot.co.id/2014/05/kerajaan-palembang.html?m=1.
Megatian Ananda Kemas.2010. Asal Mula Gelar Kebangsawanan Palembang Darussalam. Alamat akses:
Wikipedia.
Arya Dilah
dari Palembang. Alamat akses: https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Damar.
Sempen
Palki. 2013. Kesultanan Palembang Darussalam. Alamat akses : https://esempen2palki.blogspot.co.id/2012/12/kesultanan-palembang-darussalam.html.
Infokito.
2007. Kesultanan Palembang Darussalam (1550
– 1823). Alamat akses: https://infokito.wordpress.com/2007/09/06/kesultanan-palembang-darussalam-1550-%E2%80%93-1823/.
Soerat
Kabae Tempoe Doeloe. 2012. Sejarah
Palembang. Alamat Akses : https://web.facebook.com/permalink.php?id=130635997076780&story_fbid=1240596669414035&_rdr.