Rabu, 19 April 2017

Kerajaan Palembang



A. Awal berdirinya Kerajaan Palembang
            Sejarah berdirinya Kerajaan Palembang tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-12. Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Ketika Sriwijaya runtuh sebagai pusat niaga, maka lahirlah suatu daerah atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong (yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang). Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di dalamnya masih terdapat suatu tumpuan kegiatan ekonomi dan perdagangan yang masih dikenal sebagai Ku-kang (dalam bahasa China) atau Pelabuhan Lama. Kota Palembang menjadi tumpuan pelabuhan internasional yang secara khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari China. Bahkan, kota ini pernah menjadi enclave (daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.

B. Sejarah Kerajaan Palembang
                       
            Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
            Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.
            Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

C. Struktur Pemerintahan
            Pemerintahan Kerajaan Palembang didasarkan pada prinsip tradisional, yaitu adanya hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Artinya, raja           Pada masa awal Kerajaan Palembang, gelar yang dipakai pertama kali adalah Kyai Gede disingkat (Ki Gede). Dalam struktur masyarakat Jawa, gelar Kyai (Ki) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap bijak atau memiliki asal usul keningratan. Sedangkan untuk perempuan gelarnya adalah Nyai (Nyi). Gede/Ageng artinya Besar atau Agung. Jadi sebutan Kyai Gede memiliki arti bahwa beliau merupakan seorang pemimpin masyarakat dan termasuk ke dalam golongan elit bangsawan.
            Pemimpin kerajaan Palembang adalah orang yang mendapat kharisma dan legitimasi, yang memiliki kekuatan diri sebagai gusti dan kawula karena mendapat wahyu dari Tuhan. Sedangkan struktur pemerintahannya berbentuk feodalisme, yaitu Ki Gede berperan sebagai pemimpin masyarakat.
            Wewenang pemerintahan sepenuhnya dipegang oleh Ki Gede yang bertindak sebagai kepala eksekutif sekaligus kepala keagamaan, yang bertanggung jawab kepada Tuhan.
            Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kerajaan yang berupa keraton dan mancanegaro yang berupa lingkungan di luar wilayah ibukota kerajaan. Pembagian wilayah mancanegaro tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah
sebagaimana berikut:
  1. Sindang, yaitu wilayah yang dimanfaatkan sebagai batas Kerajaan Palembang agar warganya dapat mempertahankan daerahnya dari serangan dari luar. Warga di wilayah ini dibebaskan dari kewajiban membayar pajak atau pungutan tertentu.
  2. Sikep, yaitu dusun atau marga yang secara khusus menjadi tanggung jawab golongan priyayi yang disebut dengan “jenang”. Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikep), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
  3. Daerah yang dikuasai langsung oleh pemimpin masyarakat atau disebut dengan “pungutan”. Pajak tidak berlaku di wilayah ini, namun yang berlaku adalah “siban” dan “tukon”, yaitu semacam monopoli komoditi oleh pemimpin yang dijual kepada rakyat.
D. Hubungan Palembang dengan Demak
            Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.
            Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.

E. Hubungan Palembang dengan Mataram
            Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.
            Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.
            Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
            Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.
            Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecuranga­n serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).


F. kejayaan kerajaan palembang
            Berbicara mengenai kerajaan Sriwijaya memang tidak ada habis-habisnya. Kali ini saya akan membahas mengenai masa-masa keemasan kerajaan Sriwijaya. Palembang dalam bagian kedua abad ke-18 telah menuju ke hari depan yang baik, yaitu pada masa Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin H. Ia menjalankan pemerintahan secara bijaksana. Perdagangan berkembang pesat dan timah telah memperkaya kerajaan. Di Kesultanan Palembang hak pemakaian tanah diserahkan kepada marga dengan menghormati batas-batas antara marga yang telah ditetapkan.
            keputusan hukuman dalam kerajaan Palembang terletak ditangan raja atau pembesar-pembesar kerajaan. Jika terjadi perselisihan diantara marga raja dapat bertindak sebagai penengah, demikian juga dalam perselisihan masalah tanah. Raja berhak menerima jasa-jasa dari penduduknya. Selain pajak, pendapatan lain kesultanan adalah "dibantukan" yakni suatu perdagangan monopoli primitif yang tidak berdasarkan pengertian melayu.
            Dalam sistem ini raja atau pembesar pembesar kerajaan tertinggi membeli barang dengan harga vang murah dan harga pasar. Inilah yang disebut dengan "beli-beli natal". Pendapatan vang terpenting adalah dari monopoli yang ditetapkan, yaitu duapuluh ribu pikul dalam setahun. Keuntungan dari hasil jual beli inilah yang dipergunakan oleh sultan untuk membangun kembali keraton..

G.  kehidupan Sosial-Budaya

            Struktur penduduk dalam pemerintahan Kerajaan  Palembang terbagi ke dalam dua golongan, yaitu:
  1. Priyayi. Golongan ini merupakan turunan raja-raja (sultan-sultan) atau kaum ningrat. Kedudukan ini biasanya diperoleh atas dasar keturunan atau atas perkenan dari sultan sendiri.
  2. Rakyat. Golongan ini terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok “miji” atau di daerah pedalaman disebut dengan istilah “mata-gawe”, yang mencakup seperti petani dan sebagainya. Kelompok ini biasanya menggalang orang-orang yang mau berperang bersama sultan atau melakukan pekerjaan tangan dan karya-karya seni. Setiap miji mempunyai sejumlah “alingan” (keluarga), yang tugasnya adalah membantu pekerjaan miji. Kedua, kelompok “senan”, yaitu golongan rakyat yang lebih rendah dari miji, namun memiliki keistimewaan tersendiri. Maksudnya, kelompok ini tidak boleh dipekerjakan oleh siapapun kecuali hanya untuk sultan, misalnya membuat atau memperbaiki perahu-perahu dan rumah-rumah sultan atau mendayung perahu untuknya.
            Setelah Kerajaan  Palembang runtuh, banyak hal yang mulai berubah seiring perkembangan zaman. Misalnya, corak pemerintahan di Kota Palembang yang dulunya lebih tergantung dengan orang-orang Jawa kini sudah lagi.

H. Wilayah kekuasaan

            Kekuasaan Kerajaan Palembang adalah mencakup wilayah yang kini dikenal dengan Provinsi Sumatera Selatan.

I. Silsilah
            Dari beberapa temuan silsilah serta catatan mengenai sejarah Palembang, maka dapat dilihat bahwa gelar kebangsawan Palembang telah ada sejak masa awal terbentuknya Kerajaan Palembang yang dipakai oleh para Priyai-priyai yang sebagian berasal berasal dari tanah Jawa.
            Pada masa awal Kerajaan Palembang, gelar yang dipakai pertama kali adalah Kyai Gede disingkat (Ki Gede). Dalam struktur masyarakat Jawa, gelar Kyai (Ki) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada seseorang yang dianggap bijak atau memiliki asal usul keningratan. Sedangkan untuk perempuan gelarnya adalah Nyai (Nyi). Gede/Ageng artinya Besar atau Agung. Jadi sebutan Kyai Gede memiliki arti bahwa beliau merupakan seorang pemimpin masyarakat dan termasuk ke dalam golongan elit bangsawan.
            Gelar ini digunakan oleh Ki Gede Ing Suro bin Pangeran Sedo Ing Lautan beserta saudaranya Ki Gede Ing Ilir. Mereka inilah peletak dasar pertama sistem kerajaan Islam Palembang. Sepeninggalnya Ki Gede Ing Suro, tahta kerajaan jatuh kepada keponakannya yang bernama Kemas Anom Dipati Jamaluddin bin Ki Gede Ing Ilir. Pemberian nama Kemas/Ki Mas/Kyai Mas di mulai pada masa ini. Mas berarti Yang Mulia. Seluruh putra-putri Kemas Anom Dipati Jamaluddin diberi nama sesuai dengan nama orang tuanya. Namun ketika Kemas Anom Dipati Jamaluddin naik tahta ia masih diberi gelar mengikuti gelar pamannya yaitu Ki Gede Ing Suro (Mudo) untuk menghormati pamannya tersebut. Inilah masa terakhir digunakannya gelar Ki Gede sebagai gelar pembesar kerajaan.
            Kemudian setelah itu Ki Gede Ing Suro (Mudo) atau Kemas Anom Dipati Jamaluddin mewariskan tahta kerajaan kepada putranya yang bernama Kemas Dipati. Namun gelar Kemas untuk penguasa kerajaan Palembang ini pun tidak bertahan terlalu lama. Ketika Palembang mulai berada dibawah kekuasaan Kesultanan Mataram, gelar yang digunakan oleh pewaris tahta kerajaan adalah gelar Pangeran. Gelar Pangeran berarti yang memerintah. Gelar ini diberikan kepada anak laki-laki dari Raja. Tetapi gelar ini tidak otomatis, artinya gelar hanya diberikan atas perkenan Raja. Oleh karena itu gelar ini sering juga diberikan raja kepada orang yang dikehendakinya. Sementara putra-putra raja yang lain masih tetap diberikan gelar Kemas.
            Perlu menjadi catatan, bahwa pada masa itu tradisi pemakaian gelar berdasarkan sistem “Bilateral” yaitu sistem kekerabatan yang memakai salah satu dari dua garis keturunan dari Bapak/Ibu (garis Laki-laki/Wanita) tradisi dan Budaya Jawa.
            Perubahan gelar penguasa dan keturunan palembang mulai terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) bin Tumenggung Manco Negaro. Sebagai keturunan dari penguasa Jawa, yaitu Prabu Satmata Muhammad ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri/Raden Paku) ia mulai menggunakan pemberian gelar Raden dan Raden Ayu kepada sebagian putra-putrinya. Apalagi ditunjang pernikahannya dengan keturunan Panembahan Kalinyamat yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Kesultanan Mataram. Meskipun begitu, sebagian putra-putrinya yang lain masih diberikan gelar Kemas maupun Masayu.
            Puncaknya perubahan gelar dan struktur kerajaan Palembang terjadi dimasa kekuasaan Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim (Kemas Hindi). Karena merasa bahwa dukungan dari Kesultanan Mataram sudah mulai berkurang dalam menghadapi serbuan kerajaan lain, maka beliau mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari kekuasaan Kesultanan Mataram serta memproklamirkan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan. Lalu kepada anak-anaknya beliau memberikan gelar Raden dan Raden Ayu. Sedangkan untuk Putra Mahkota gelar yang Tertinggi adalah Pangeran Ratu (Biasanya anak laki-laki tertua dari Sultan). Namun demikian pernah terjadi Sultan memberi gelar anak laki-lakinya yang tertua dengan gelar Pangeran Adipati atau Prabu Anom . Gelar Pangeran Adipati dipakai oleh anak tertua dari Sultan Abdurrahman yang tidak sempat menjadi raja, dan kedudukannya digantikan oleh adiknya Pangeran Aria (Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago) dan pada tahun 1821-1825 pemberian dan pemakaian gelar Prabu Anom dilakukan Oleh Sultan Ahmad Najamuddin II (Husin Dhiauddin). Hal ini dilakukan karena anak laki-laki dari saudaranya yang tertua (anak Sultan Mahmud Badaruddin II) yang masih hidup telah memakai gelar Pangeran Ratu. Gelar Prabu adalah gelar yang diberikan kepada anak laki-laki Sultan ketika sultan sedang berkuasa.
            Mengenai pemakaian gelar Ratu, gelar ini biasanya diberikan kepada Putri Raja yang naik tahta atau Permaisuri (Istri raja) yang disebut dengan Panggilan Ratu Agung atau Ratu Sepuh. Selain itu gelar ini juga diberikan kepada keempat isteri pendamping, karena pada umumnya raja memiliki istri lebih dari satu tetapi bukan selir.Selain Ratu Sepuh ratu-ratu yang lain diberi gelar tambahan/memiliki panggilan tersendiri seperti Ratu Gading, Ratu Mas. Ratu Sepuh Asma, Ratu Ulu, Ratu Ilir, dsb).
Silsilah berikut ini, yaitu periode Kerajaan Palembang (sebagai cikal bakal Kesultanan Palembang) sebagai berikut:

a. Periode Kerajaan Palembang
1.                  Ario Abdillah (Ario Dila, sebelumnya bernama Ario Damar) (1455-1486)                                               
            Arya Damar adalah pahlawan legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh masyarakat Jawa. Dalam naskah-naskah babad dan serat, misalnya badan tanah Jawi tokoh Arya Damar disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja raja Demak pertama
            Dikisahkan ada seorang raksasa wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Ia pun mengubah wujud menjadi gadis cantik bernama Endang Sasmintapura, dan segera ditemukan oleh patih Majapahit (yang juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar kota. Sasmintapura pun dipersembahkan kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.
            Namun, ketika sedang mengandung, Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah.
            Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi ke Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.
                                   
            Jaka Dilah kemudian diangkat sebagai bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah menceraikan seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama Ratu Dwarawati (Putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada Arya Damar untuk dijadikan istri.
            Arya Damar membawa putri Cina ke Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah. Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden Kusen.
            Setelah dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen meninggalkan Palembang menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi raja Demak pertama, dengan bergelar Panembahan Jimbun.

2.                  Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552)
            Pangeran Seda ing Lautan (Pangeran Sidang Lautan), merupakan seorang pengikut setia Raden Patah. Ketika Kesultanan Demak berdiri, ia pergi dari tanah kelahirannya Palembang menuju tanah Jawa, untuk membantu Raden Patah membangun kekuatan militer Kesultanan.
            Pada sekitar awal abad ke-16, Pangeran Seda ing Lautan mendapat tugas dari Kesultanan Demak, untuk mempersiapkan armada perang di Palembang.
            Di tahun 1511 Malaka dikuasai oleh Potugis. Perlakuan Portugis ini tentu membuat marah Kesultanan Demak.
            Pada tahun 1512, Balatentara Demak dibantu armada dari berbagai daerah, melakukan penyerbuan ke Malaka.
            Pasukan militer Palembang, dibawah pimpinan Pangeran Siding Lautan, ikut bergabung dalam pertempuran ini. Namun sudah menjadi suratan takdir, serangan Pasukan Gabungan ini mengalami kegagalan, dan Pangeran Sidang Lautan wafat dalam peperangan (Sumber : Buku “Sejarah Daerah Sumatera Selatan”, tulisan Drs. Ma’moen Abdullah, hal. 59-71).

3.                  Kiai Gede Ing Suro Tuo (1552-1573)
                                   
            Raja pelembang baru yang pertama adalah Ki Hang Suro Tuo Sangaji Lor yang memerintah dari tahun 1550 s/d 1555 masehi. Beliau adalah cucu dari Raden Fattah Sultan Demak atau anak dari Raden sedakali Pangeran Seberang Lor seda Ing Lautan Pati Unus sultan Demak II.
            Jika pada masa pemerintahan Prabu Ariodillah (Ariodamar) Kerajaan Pelembang dinamakannya PELIMBANGAN yang lokasinya adalah kampung tatang 36 ilir Pelembang sekarang ini. Maka pada masa Ki Hang Suro Tuo, nama PELIMBANGAN digantinya menjadi PELIMBANG BARU Yang berlokasi di batu Hampar seberang ilir pelembang lama sekarang ini. Ki Hang Suro Tuo Sangaji Lor wafat pada tahun 1555 masehi.

4.                  Kiai Gede Ing Suro Mudo (Kiai Mas Anom Adipati Ing Suro) (1573-1590)
            Disebabkan KI HANG SURO TUO (atau KI GEDE ING SURO TUO) tidak mempunyai anak, maka Raja Pelimbang ke II ialah kemenakannya sendiri yang bernama Ki Gede ing Suro Mudo anak dari Sunan Ampel Denta Surabaya dan ibunya Nyai Gede ing ilir adik dari Ki Gede Ing suro Tuo. Ki Gede Ing Suro Mudo meninggal dunia pada tahun 1589 setelah memerintah selama 34 tahun (1555 – 1589) dan dimakamkan dipemakaman Batu Hampar dekat makam Ki Gede ing Suro Tuo.

5.                  Kiai Mas Adipati (1590-1595)
            Raja Pelimbang Baru berikutnya yang ke III adalah anak Ki Gede ing Suro Mudo, yaitu Ki Mas Adipati Angsoko bin Ki Gede ing Suro Mudo yang memerintah selama 5 tahun saja (1589-1594) Lokasi Istana kerajaannya tidak lagi di Batu Hampar tetapi dipindahkan ke TALANG JAWA LAMA.

6.                  Pangeran Madi Ing Angsoko (1595-1629)
            Raja Pelimbang ke IV yaitu PANGERAN MADI ANGSOKO Bin KI GEDE ING SURO MUDO Oleh karena ketika Ki Mas Adipati Angsoko meninggal dunia, anaknya yang bernama Pangeran Seda ing Kenayan masih kecil, maka Tahta Raja Pelimbang ke IV jatuh kepada saudaranya sendiri bernama PANGERAN MADI ANGSOKO yang memerintah selama 30 tahun (1594 – 1624) dan ketika meninggal tidak meninggalkan anak, maka tahta diserahkan kepada adiknya bernama PANGERAN MEDI ALIT ANGSOKO.

7.                  Pangeran Madi Alit (1629-1630)
            Raja Pelimbang ke V adalah PANGERAN MEDI ALIT ANGSOKO Bin KI GEDE ING SURO MUDO Raja Pelimbang baru yang ke V ini hanya memerintah selama satu tahun saja (1624-1625) dan tidak juga mempunyai anak, dan Beliau digantikan oleh adiknya yang.bernama PANGERAN SEDA ING PURO ANGSOKO

8.                  Pangeran Sedo Ing Puro (1630-1639)
            Raja Pelimbang ke VI adalah PANGERAN SEDA ING PURO ANGSOKO Bin KI GEDE ING SURO MUDO Pengeran Seda Ing Puro Angsoko memerintah selaku Raja Pelimbang selama 7 tahun (1625 – 1632) dan Beliaupun tidak ada meninggalkan anak, Kedudukannya digantikan oleh anak Kakaknya (KI MAS ADIPATI ANGSOKO) yang bernama PANGERAN SEDA ING KENAYAN.

9.                  Pangeran Sedo Ing Kenayan (1639-1650)
            Raja Pelimbang ke VII adalah PANGERAN SEDA ING KENAYAN SABO ING KINGKING Bin KI MAS ADIPATI ANGSOKO.
            Pangeran seda Ing Kenayan adalah Anak Ki Mas Adipati Angsoko (Raja ke III) Pangeran Seda Ing Kenayan tidak lagi meneruskan dinasti Angsoko tetapi telah membuat dinasti baru yaitu dinasti Sabo Ing King King, Beliau memerintah selama 12 tahun (1632 – 1644) lokasi istananya dipindah pula ke daerah Sabo KingKing Kelurahn 1 ilir Palembang lama sekarang Pangeran Seda ing Kenayan Sabo ing KingKing beristrikan saudara misan / sepupuhnya sendiri yaitu Ratu Sinuhun Simbur Cahaya, Merekapun tidak memiliki anak. Dengan demikian habislah Keturunan ki Gede ing Suro Mudo atau keturunan Sunan Ampel Denta Surabaya

10.              Pangeran Sedo Ing Pesarean (1651-1652)
            Raja Pelimbang ke VIII yaitu PANGERAN MOH ALI SEDA ING PASAREAN SABO ING KINGKING, Oleh karena Suami Istri Pangeran Seda Ing Kenayan dan ratu sinuhun simburcahaya tidak menurunkan anak maka Tahta kerajaan dilimpahkan kepada saudara tua (kakak) Ratu Sinuhun bernama Pangeran Moh.Ali Seda ing Pasarean gelar Sultan Jamaluddin Mangkurat V turunan ke 4 dari Raden Paku Moh.Ainulyakin Prabusatmoto joko samudro Sunan Giri gresik Wali songo bin Maulana Ishak Mahdum Syech Awalul Islam Samudra Pasai Aceh.
Pangeran Moh.Ali Seda Ing Pasarean atau Sultan Jamaluddin Mangkurat V ini hanya memerintah selama satu tahun (1644-1645) karena mati terbunuh (diracun) oleh pegawai Keraton Sabo kingking sendiri.

11.              Pangeran Sedo Ing Rajek (1652-1659)
            Raja Pelimbang ke IX yaitu PANGERAN SEDA ING RAZAK (SULTAN ABDURROHIM JAMALUDDIN MANGKURAT VI) Bin Mohammad ali Seda Ing Pasarean Turunan ke – 5 dari Sunan Giri Gresik walisongo, Pangeran Seda ing Razak ini adalah Dinasti Sabo KingKing terakhir, Istana Sabo KingKing dibumi hangus oleh Angkatan Laut Belanda, maka Sultan Abdurrohim Jamaluddin Mangkurat VI ini beserta keluarganya berhijrah ke Indralaya OKI. Dan Beliau menjadi Sultan di Indralaya. Adapun sebab perang dengan Belanda karena Seda ing Razak tidak mau mengakui VOC dan tidak mau menandatangani kontrak, akhirnya Loji VOC di batu hamper dibakar oleh rakyat atas perintah Sultan. Beliau dimakamkan di desa SAKA TIGA Beliau memerintah selaku Raja Pelimbang ke IX selama 14 tahun (1645-1659) dan memerintah selaku Sultan di Indralaya selama 32 tahun (1659 – 1691).



DAFTAR PUSTAKA

Kanzunqalam. 2015. [Misteri] Pangeran Seda ing Lautan, dan awal berdirinya Kerajaan Palembang. Alamat akses: https://kanzunqalam.com/2015/09/20/misteri-pangeran-sideng-lautan-dan-awal-berdirinya-kerajaan-palembang/
Wikipedia. 2016. Arya Damar. Alamat akses: https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Damar

Yusuf Yordan. 2014. Makalah Mantap Kerajaan Palembang. Alamat akses: http://makalah-mantap.blogspot.co.id/2014/05/kerajaan-palembang.html?m=1.

Megatian Ananda Kemas.2010. Asal Mula Gelar Kebangsawanan Palembang Darussalam. Alamat akses:

Wikipedia. Arya Dilah dari Palembang. Alamat akses: https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Damar.
Sempen Palki. 2013. Kesultanan Palembang Darussalam. Alamat akses : https://esempen2palki.blogspot.co.id/2012/12/kesultanan-palembang-darussalam.html.
Infokito. 2007. Kesultanan Palembang Darussalam (1550 – 1823). Alamat akses: https://infokito.wordpress.com/2007/09/06/kesultanan-palembang-darussalam-1550-%E2%80%93-1823/.

Soerat Kabae Tempoe Doeloe. 2012. Sejarah Palembang. Alamat Akses : https://web.facebook.com/permalink.php?id=130635997076780&story_fbid=1240596669414035&_rdr




Kerajaan Banten

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum  Wr Wb
Dengan memanjatkan puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saya Pebrianti telah menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul “Peradaban Islam di Kerajaan Banten” ini, yang bertujuan untuk memenuhi tugas dari dosen sejarah kami. 
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan saya pada khususnya, saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna untuk itu saya menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah kesempurnaan, akhir kata saya sampaikan Terimah kasih.
Walaikum’salam Wr Wb
                                                                              Palembang 14 November 2015



                                                  
                                                     Penulis









BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

             Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi Indonesia melalui pintu barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya islam dari pintu gerbang Barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan Sunda Kelapa ataupun Banten. Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur dalam hal ini menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan

1.2. Rumusan masalah
1.      Bagaimana proses Islamisasi di kerajaan banten?
2.      Siapa pendiri Agama Islam (tokoh ulama) di kerajaan banten ?
3.      Bagaimana Kehidupan politik,ekonomi,social-budaya dikerajaan banten?
4.      Bagaimana puncak kejayaan kerajaan banten?
5.      Bagaimana terjadinya perang saudara di kerajaan banten?
6.      Bagaimana factor kemunduran kerajaan banten?

1.3. Tujuan masalah
1.      Mengetahui bagaimana proses Islamisasi di kerajaan banten
2.      Mengetahui siapa-siapa pendiri agama islam di kerajaan banten
3.      Mengetahui sejarah banten dari segi kehidupan
4.      Mengetahui sejarah puncak kejayaan kerajaan banten
5.      Mengtahui sebab terjadinya perang saudara di kerajaan banten
6.      Mengetahui factor Kemunduran kerajaan banten


BAB II
PEMBAHASAN

 2.1. Proses Islamisai Kerajaan Di Banten 

Dalam perkembangan sejarah Indonesia, Jawa Barat tidak hanya sekarang saja sebagai wilayah yang sangat penting, baik dari tinjauan geostrategi dan geoplitik dewasa ini. Tetapi Jawa barat juga merupakan tempat pertama timbulnya kekuasaan politik Taruma Negara, membuktikan posisi geografi Jawa Barat mempunyai nilai tersendiri sejak abad ke-5 Masehi. Proses perluasan Islam di Jawa Barat lebih banyak dikisahkan melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah. Tetapi islamisasi Indonesia melalui pintu barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan besar bila masuknya islam dari pintu gerbang Barat. Dalam hal ini mungkin dari pelabuhan Sunda Kelapa ataupun Banten.
Perlu ditambahkan disini bahwa penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur dalam hal ini menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan. Pertimbangan lain dari keterangan Tome Pires yang menjelaskan keadaan Jawa Barat pada abad ke-16. Bahwa pada tahun 1513 penduduk Cirebon dan Cimanuk (Indramayu) sudah beragam Islam. Yang lebih menarik perhatian kita, Tome Pires menjelaskan situasi pelabuhan Jawa Barat lainnya: Banten, Pontang, Cikande, Tengerang dan Sunda Kelapa, sebagai pelabuhan yang telah banyak dikunjungi oleh pedagang Islam yang berasal dari Malaka, Palembang, Fansur, Tanjungpura, Lawe, Jawa, dan pelabuhan lainnya.

 1.2. Pendiri Agama Islam (Tokoh Ulama) Di Kerajaan Banten

      Ketika kerajaan yang bercorak islam berdiri, pusat kekuasaan yang semula berada di Banten Girang dipindahkan ke Surasowan di Banten lama, dekat pantai. Pemindahan pusat kekuasaan ini dimaksudkan untuk mempermudah hubungan pesisir utara Jawa dengan Sumatra melal ui Selat Sunda dan Samudra Hindia. Penunjukan Surasowan sebagai ibukota kerajaan Banten dilakukan atas perintah Faletehan (Sunan Gunung Jati) kepada puteranya, Hasanuddin, yang kemudian menjadi raja Banten pertama

A.    Fatahillah mangkat pada tahun 1570
Fatahillah mangkat pada tahun 1570 sebagaimana telah dimaklumi di atas, seorang ulama muda anak Pasai yang turun dari Mekkah, telah datang ke Demak dan berkhidmat kepada sultan Trenggono, sehingga diambil menjadi kepala perang untuk menaklukan Banten, atau Jawa Barat. Ulama muda itu bernama Syarif Hidayatullah, Sultan Maulana Nuruddin Ibrahim. Untuk menyebarkan Islam di jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Pajajaran.Dalam pada itu kemenangan Syarif Hidayatullah menaklukan kota Banten mendapat penghargaan tertinggi dari Sultan Trenggono, sehingga beliau diberi gelar Fatahillah. Portugis menyebutnya Faletehan.
Fatahillah sebagai penguasa besar Jawa Barat, meliputi Banten, Jakarta dan Cirebon, apatah lagi beliau masih mengakui bahwa dia memerintah masih di bawah naungan Demak, maka yang pantas disebut sultan Banten pertama adalah ialah Hasanuddin. Sangatlah maju Banten selama pemerintahan baginda selam 18 tahun lamanya. Pelabuhan Banten ramai didatangi saudagar- saudagar dari luar negeri. Setelah 18 tahun memerintah, maka mangkatlah baginda, kebetulan tahun mangkatnya bersamaan dengan mangkat ayahnya Fatahillah, tidak berapa bulan selisihnya, Yaitu di tahun 1570. Kedukaan yang dua kali menimpa rakyat Jawa Barat dalam satu tahun itu, menyebabkan bahwa setelah mangkat Sultan Hasanuddin diberi gelar ”Marhum Sabakingking”, dan makam baginda dinamai ”Sabakingking” artinya tempat duka cita


B.     Setelah Hasanuddin Sultan Banten I (1552 - 1570)
Sultan Hasanuddin meninggal, Dan diganti oleh anaknya, Yusuf , sebagai raja Banten kedua (1570-1580). Ia memperluas wilayah kekuasaan kerajaan Banten sampai jauh kepedalaman yang semula masih dikuasai oleh kerajaan Sunda Pajajaran, dan berhasil menduduki ibukotanya, yakni Pakuan. Yusuf memperluas bangunan masjid Agung dengan membuat serambi dan juga membangun masjid lain di Kasanyutan, sebelah selatan Banten lama.
            Ketika Yusuf wafat, yang berhak naik tahta menggantikannya adalah puteranya yang bernama Maulana Muhamad. Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan muhammad masih di bawah umur , kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (Arab:qadhi, jaksa agung ) bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini, melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada tahun 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang berusia 5 bulan, Sultan mafakhir Mahmud Abdulkadir.
 
C.    Pangeran Yusuf Sultan Banten II (1570 -1580)
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun 1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Dialah raja Banten pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa sultan Abulfath Abdulfath ini tejadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M. Sebagai kota metropolitan sejak abad ke -14 sampai akhir abad ke -19, Banten mengalami perkembangan jumlah penduduk yang pesat, menurut statistik yang dibuat oleh Sultan Abul Mahasin Zaonal Abidin pada tahun 1694, penduduk Banten berjumlah 31,848 jiwa.
Selama lebih dari tiga abad, Banten sebagai kerajaan Bahari telah menjadi tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bangsa asing yang berdagang di Banten pada saat itu antara lain Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu dan sebagainya. Barang-barang perdagangan yang beredar dan menjadi komiditi di kota Banten adalah sutra, beludru, peti berhias, kertas emas, kipas angin dari Cina, kaca, gading, batu permata dari India, tekstil, dan sebagainya. Walaupun Banten berupa kerajaan Bahari, ternyata juga mengembangkan pertanian. Pertanian telah dikembangkan sejak Sultan Abdul mufakhir Muhammad Abdul Kadir (1596-1651). Dengan dibangunnya sistem irigasi oleh sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).
Pada peta ikhtisar Banten lama dari tahun 1900 terdapat nama tempat yang menunjukkan adanya sebuah tempat kefakihan pada masa itu. Adanya tempat ini menunjukkan bahwa pada jaman kesultanan Banten, unsur pendidikan islam dikhususkan dan mendapat prioritas utama. Dengan demikian, harapan terhadap para alim ulama begitu tinggi, walau Banten dihancurkan oleh Belanda pada tahun 1813, pada waktu itu juga lahir seorang ulama kenamaan berasal dari Tanahara Tirtayasa, Banten, bernama Nawawi al Banteni. Ratusan buku karangannya dicetak didalam dan luar negeri, antara lain di Mesir dan Beirut. Sampai sekarang semua buku tersebut masih dipelajari dan dibaca oleh umat islam, khususnya di Indonesia.
Banten, Kesultanan, sebuah pemerintahan islam di Banten berdiri sejak tahun 1527, pada mulanya, Banten merupakan daerah kekuasaan kerajaan Hindu Budha pajajaran, pada tahun 1527 Banten direbut oleh dan diperintah oleh Faletehan dari Demak. Sejak saat ini mulai berdiri pemerintahan islam di Banten, yang kelak menjadi kesultanan setelah Demak mengalami kemunduran. Kesultanan Banten mulai meluas kekuasaannya dan mencapai kemajuan di bidang perdagangan sejak pemerintahan Hasanuddin. Ia memerintah Banten setelah kepindahan faletehan ke Cirebon pada tahun 1552. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf 1579-1580, Pajajaran ditaklukkan.
Sejak sebelum zaman islam, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja sunda (dari Pajajaran , atau mungkin sebelumnya). Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda kuno, cerita parahyangan, disebut- sebut nama wahanten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan ujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524/1525 sunan gunung jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta bagi perdagangan orang-orang islam disana. Menurut sumber tradisional , penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik masuk islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara jawa yang memang dimintanya. Namun, menurut berita Barros, penyebaran islam dijawa barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan tiba-tiba.

D.    Maulana Muhammad Sultan Banten III (1580 – 1596)
Keadaan Banten pada masa Sultan Maulana Muhammad dapat diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui banyak sungai. Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk. Transaksi perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata uang (money changer) sudah dikenal.
Maulana Muhammad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang kitab agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan keramik dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan disediakan tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan. Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat penyerangan ke Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas, keturunan dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan tertembak ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi. Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya.

E.     Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir Sultan Banten IV (1596 -1651)
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan untuk merebut tahta kerajaan. Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun 1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan  keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang memicu terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara semua pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala sebagai Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten menjadi aman kembali. Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu dengan Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi, tindakan utama yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan menegakan peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan sendiri tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian, Banten dapat terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam amupun luar negeri. Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :

·         Penghapusan keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
·         Penetapan pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak terkena pajak
·         Pemberlakuan pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri Banten

 2.3. Kehidupan Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya

A.    Kehidupan Politik
Sultan pertama Kerajan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522-1570. Ia adalah putra Fatahillah seorang panglima tentara Demak yang perna diutus oleh Sultan Trenggana menguasai Bandar-bandar di Jawa barat. Pada waktu kerajaan demak berkuasa, daerah banten merupakan bagian dari kerjaan Demak. Namun setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, banten akhirnya melepas diri dari pengaruh penguasaan Demak . Jatuhnya Malaka ketangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindakan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada pemerintahan Sultan Hasanuddin, kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, lampung disumatra selatan yang sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian ia telah meletakan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin Wafat
Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukan dan menguasai kerajaan pejajaran (hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pejajaran menyingkir ke pedalaman, yaitu daera banten selatan, mereka dikenal dengan suku Badui. Setelah penjajaran di taklukan konon kalangan elite sunda memeluk agama islam Maulana Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasannya, Maulana Muhammad menyerang KeSultanan Palembang. Dalam usaha menaklukan Palembang , maulana Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik tahta. Ia bergelar Sultan Abu Mufakhir Mahmud Abdul Kadir Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa putra pangeran Ratu yang bernama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda. Usaha untuk mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai pelabuhan jayakarta yang dilakukan oleh sulta Ageng Tirtayasa. Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah pemerintahan Sultan Haji.



B. Kehidupan Ekonomi
            Banten dibawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi Bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama islam. Adapun factor-faktornya ialah:
1)      Letaknya setrategis dalam lalu lintas perdagangan
2)      Jatunya malaka ketangan portugis sehingga pedagang islam tidak lagi singgah ke malaka namun langsung menuju Banten
3)      Banten mempunyai ekspor penting yakitu lada
Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab,Gujarat,Persia,Turki Cina dan sebagainya. Dikota dagang banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan kampung pakojan, orang cina mendirikan kampong pacinan. Orang-orang Indonesia mendirikan Kampung Banda, Kampong Jawa dan sebagainya.

C. Kehidupan Sosial-Budaya
Sejak banten di islam kan oleh Fatahillah (Faletahan) 1527 kehidupan social mastarakat secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Penjajaran pengaruh islam makin kuat didaera pedalaman. Pendukung sebagai Suku Badui. Kepercayaan meraka di sebut Pasun dan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama Meraka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengatih Islam Kehidupan social masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik karena sultan memperhatikan kehudupan dan kesejateraan rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dan adanya campur tangan Belanda dalam kehidupan social masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan dalam masjid Agung Banten (tumpang lima), dan banguna gapura-gapura di Kaibon Banten. Disamping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel. Orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam, Susuna istananya menyerupai istana raja Eropa. 

1.4. Puncak kejayaan Kerajaan Banten
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten

 2.5. Perang Saudara Kerajaan Banten
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia
 Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.


 2.6. Kemunduran Kerajaan Banten
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten. Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten  maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 
Kerajaan Banten didirikan oleh Fatahillah (1527). Semula, Banten merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Kemudian, Banten direbut dan diperintah oleh Fatahillah dari Demak. Pada tahun 1552, Fatahillah menyerahkan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Fatahillah sendiri pergi ke Cirebon dan berdakwah di sana sampai wafat (1570). Ia dimakamkan di desa Gunung Jati. Oleh karena itu, ia disebut Sunan Gunung Jati.




Daftar pustaka
http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-banten-beserta-kehidupan-politiksosial-  dan-budaya/