Sabtu, 20 Mei 2017

Kesultanan Palembang



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
             Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada adbad ke-12 Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Ketika Sriwijaya runtuh sebagai pusat niaga, maka lahirlah suatu daerah atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong (yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang). Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di dalamnya masih terdapat suatu tumpuan pelabuhan internasional yang secara khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari China. Bahkan, kota ini perna menjadi enclave (daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.
Kesultanan Palembang dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa seorang tokoh yang bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat palemabang sudah banyak yang memeluk Agama Islam, Konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).
Adapun pembahan yang lebih mendetail lagi akan penulis bahas pada halaman berikutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang?
2.      Bagaimana Silsilah Kepemimpinan Kesultanan Palembang?
3.      Bagaimana periode pemerintahan pada masa Kesultanan Palembang?
4.      Bagaimana Struktur Pemerintahan Kesultanan Palembang?
5.      Bagaimana ekonomi Kesultanan Palembang?
6.      Bagaimana Peperangan yang terjadi pada masa Kesultanan Palembang?
7.      Bagaimana keruntuhan Kesultanan Palembang?


 BAB II
PEMBAHAN

A.    Seajarah Kesultanan Palembang
Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada adbad ke-12 Kerajaan Sriwijaya runtuh akibat dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Ketika Sriwijaya runtuh sebagai pusat niaga, maka lahirlah suatu daerah atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong (yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang). Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di dalamnya masih terdapat suatu tumpuan pelabuhan internasional yang secara khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari China. Bahkan, kota ini perna menjadi enclave (daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.
Pada tahun 1659, di Palembang juga berdiri sebuah Kesultanan yang memiliki corak tersendiri dan berbeda dengan kerajaan Palembang sebelumnya, Yaitu Kesultanan Palemabang Darussalam. Pendiri Kesultanan Palembang ini adalah Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang. Sejarah kekuasaan dirinya beserta sultan-sultan setelahnya akan dibahas tersendiri dalam priode Pemerintaha
Sejarah Kesultanan Palembang dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa seorang tokoh yang bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat palemabang sudah banyak yang memeluk Agama Islam, Konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).


B.     Silsilah Kepemimpinan Kesultanan Palembang
Adapun silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang adalah sebagai berikut:
Ø  Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659-1706 M).
Ø  Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714 M).
Ø  Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714-1724 M).
Ø  Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah).
Ø  Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo (Sultan Badarudin I) (1724-1758 M).
Ø  Sultan Ahmad Najmudin (1758-1776 M).
Ø  Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804 M).
Ø  Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804-1812 M).
Ø  Sultan Ahmad Najmuddin II Husin Diauddin (1813-1817 M).
Ø  Sultan Ahmad Najmuddin III Prabu Ratu (1819-1821 M).
Ø  Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M).
Ø  Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Bdaruddin III) (2003).
Ø  Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-sekarang).
                                                                     

C.    Periode Pemerintahan
Kesultanan Palembang Darussalam berdiri selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1659 hingga tahun 1825. Sebelum kesultanan ini berdiri sebenarnya telah ada terlebih dahulu Kerajaan Palembang yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Bedanya dengan Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam lebih bercorak Islam karena menerapakan syariat Islam serta menjadikan Al-quran dan Hadist sebagai konstitusi pemerintahan.
Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman atau disebut dengan Suna Cinde Walang adalah raja pertama di Kesultanan Palembang Darussalam. Ia memerintah selama 45 tahun. Dengan masa kekuasaanyang begitu panjang, ia telah meletakkan tata kehidupan sosial, dan politik yang kuat di kesultanan ini. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undangdan perarturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu, (Kapahiyang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji).
Sunan Cinde Walang perna melakukan aliansi internasional antara Palembang, Jambi dan Johor. Aliansi ini hanya bersifat insidentil dan situasional. Namun, aliansi ini kadang justru menumbulkan konflik di antara mereka sendiri karena adanya perbedaan kepentingan. Dalam bidang pertanian, ia mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan. Setelah Sunan Cinde Walang meninggal pada tahun 1706, tahta kekuasaan kesultanan kemudian dipegang oleh putranya yang bernama Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714). Ia merupakan sultan yang dikenal gagah berani dan banyak menyelesaikan permasalahan dengan senjata. Akibatnya, Kesultanan Palembang perna kehilangan salah satu daerah kekuasaannya, yaitu Muara Tembesi di Jambi. Ketika Jayo Ing Lago tidak lagi berkuasa, terjadi kemelut politik pada masa itu perihal siapa yang pantas menggantikan Jayo Ing Lago yang meninggal karena di racun. Tahta kekuasaan kemudian dipegang adik Jayo Ing Lago, Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1714-1724). Putra-putra Jayo Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Mangkubumi Mohamad Ali menolak keputusan tersebut dengan melakukan pemberontakan.
Sultan Agung Komaruddin kemudian berinisiatif untuk berdamai dengan kedua keponakannya tersebut dengan cara mengangkat pangeran Mangkubumi Mohamad Ali sebagai Sultan Anom Muhammad Alimuddin dan Raden Lembu sebagai Pangeran Jayo Wirakmo. Tetap saja keputusan tersebut belum dapat memuaskan kedua belah pihak karena ternyata pangeran Jayo Wirakmo lebih diuntungkan dengan mendapatkan Putri Sultan Agung Komaruddin sebagai pasangannya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antar saudara. Pangeran Jayo Wirakmo memenangkan peperangan tersebut yang mengantarkan dirinya sebagai Sultan dengan gelar Mahmud Badaruddin Jayo Wirakmo (1724-1758).
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wirakmo (Badaruddin I) merupakan sosok pemimpin yang berwawasan luas dan memiliki pengalaman yang amat memadai. Ia perna mengagas pentingnya memperbarui kesultanan dengan mengintrodusir pengetahuan dan teknologi yang baru, tanpa meninggalkan tradisi dan agama yang telah lama mapan. Ia melakukan perubahan dan pembangunan Kesultanan Palembang kea rah yang lebih maju. Di antara bentuk bangunan fisik yang didirikan pada masanya, yaitu : Masjid Agung, Kuta Batu (Kuta Lama), Makam Lemabang, tambang timah Bangka, terusan-terusan di pedalaman. Ia juga mengembangkan sistem perdagangan dan ekonomi Kesultanan Palembang kea rah yang lebih maju. Pada masanya syiar dan dakwah keagamaan Islam mulai berkembang pesat. Maka, tidak aneh jika dikatakan bahwa banyak ulama di nusantara yang berasal dari wilayah Kesultanan Palembang ini. Setelah Sultan Badaruddin I meninggal, tahta kekuasaan Kesultanan [Palembang kemudian dipegang oleh Sultan Ahmad NajaMuddin (1758-1776). Tidak banyak data yang membincangkan sejarah kepemimpinan sultan ini. Namun, yang pasti bahwa ia lebih banyak mengembangkan perkembangan Islam tentang kesusastraan. Setelah ia meninggal, tahta kekuasaan kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804).
Masa kekuasaan Sultan Muhammad Bahauddin juga dikenal sebagai periode pemerintahan Kesultanna Palembang Darussalam yang cukup berhasil. Pada masanya, perekonomian kesultanan meningkat tajam karena sultan sangat menguasai teknik bagaimana caranya berdagang yang bagus, termasuk berdagang dengan VOC. Bahkan, VOC merasa kesal dengan monopoli perdagangan sultan Muhammad Bahauddin yang menyebabkan konrak-kontrak mereka sering ditolaknya. Ternyata, Sultan Bahauddin lebih suka berdagang dengan Inggris, China, dan orang-orang Melayu di Riau. Dampak dari kebijakan seperti ini justru menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi keuangan kesultanan. Sehingga, kemakmuran Kesultanan Palembang Darussalam meningkat tajam.
Bentuk dari kemakmuran tersebut dapat dibuktikan dengan peninggal;an-peninggalan bersejarah yang bernilai sangat penting. Pada tahun 1780, Sultan Bahauddin perna membangun Keraton Kuto Besak yang boleh dianggap sebagai keraton terbesar dan terindah di nusantara. Bentuk kemakmuran kesultanan juga berupa berkembangnya bidang kesenian dan kesusasteraan pada saat itu. Dalam kurun waktu 1750-1800, Kesultanan Palembang Darussalam perna menjadi pusat sastra melayu setelah Kesultanan Aceh yang menjadi pusat Kesusastraan sebelumnya mengalami masa stagsi. Pada tahun 1804, Sultan Mahmud Badaruddin II menggatikan ayahnya (Sultan Bahauddin). Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa perjuangan melawan colonial Inggris dan Belanda. Pada tahun 1811, Sultan Badaruddin II berperang dengan Belanda-Perancis yang dikenal dengan peristiwa Loji Sungai Aur. Pada tahun 1812, ia menghadapi serbuan armada Inggris. Selain itu, ia juga berperan dalam peperangan yang lain, seperti Perang Palembang 1819 Babak I dan II serta Perang Palembang 1821. Atas perjuangannya melawan kolonialisme, ia dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Sultan Ahmad Najamudin II atau Sunan Husin Dhiauddin meneruskan kesultanan berikutnya  (1813-1817). Ia merupakan saudara dari Mahmud Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Mahmud Badaruddin II perna hijrah ke Muara Ruwas, dan dalam kurun waktu antara tahun 1813, ia juga perna dipecat oleh Inggris dan Belanda yang perna menguasai Wilayah Kesultanan Palembang. Meski demikian, posisi dirinya sebagai sultan yang sah masih tetap eksis hingga 1821. Sultan yang ke-9 di kesultanan Palembang Darussalam adalah Sultan Najamuddin III atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Ratu (1919-1921). Ia merupakan putra dari Sultan Badaruddin II, yang dilantik dengan ayahnya hingga 1921. Pada tahun ini, ayahnya (Sultan Badaruddin II) ditangkap oleh pemerintah Belanda. Sebelum diasingkan ke Ternate, ia beserta keluarga dan para pengikut setiannya yang mencangkup permaisuri, sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawah ke pengasingan karena keterbatasan kapal.
Setelah Sultan Badaruddin II tidak lagi memimpin karena berada di pengasingan, tahta kesultanan kemudian di pegang oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Anom (1821-1823). Ia merupakan anak dari Husin Dhiauddin (Sultan Najamuddin II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda. Pada tahun 1823, ia melakukan pemberontakan kepada Belanda karena kontrak yang dibuat pihak colonial sangat merugikan kedudukannya sebagai sultan. Pada tahun ini pulaia sudah tidak lagi memimpin kesultanan karena dipecat oleh Belanda dan pada tahun 1925 ia baru bisa ditangkap yang menyebabkan dirinya dibuang ke Manado. Pemerintah Belanda membubarkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1925. Pemerintah belanda sebenarnya berharap bahwa Kesultanan Palembang Darussalam masih tetap eksis. Berdasarkan pengakuan dari keluarga keturunan Sultan Badaruddin II di Ternate yang diteliti oleh seorang budayawan, Djohan Hanafiah, pihak Belanda perna menawarkan kepada Sultan Badaruddin II agar mau memimpin kembali. Namun, Sultan Badaruddin menolak secara tegas. Alasannya, ia tidak ingin terjadi perpecahan. Ia pun berpesan agar sebaiknya Kesultanan Palembang dibubarkan saja.
Setelah lama tidak eksis lagi, terdapat salah seorang keturunan Kesultanan Palembang Darussalam bernama Sultan ISkandar Mahmud Badaruddin yang menjadi sultan ke-11 sejak tahun 2006. Ia merupakan keturunan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Juga Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Pengakuan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin telah direstui oleh ahli nasab Kesultanan Palembang Darussalam, yakni R.M Yusuf Prabu Tenaya yang merupakan zuriat dari Sultan Ahmad Najmuddin Pangeran Ratu bin Sultan Mahmud Badaruddin II, serta R,M. Syarifuddin Prabu Anom dari zuriat Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom.

D.    Struktur Pemerintahan
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah meletakkan adat kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang seperti, Bangka, Belitung, Sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Museji) (Hanafiah 1995:197-200).
Dalam bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan.
Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah satu sikap komromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga perkawinan (Harfiah, 1995: 169). Sebagai contoh, Sultan Abdurrahaman perna menalangsungkan perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas dari perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan kepulauan Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultan Palembang Darussalam. Selain menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam juga menunjukan sikap untuk lebih menghormati adat setempat yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum masyarakat yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai dengan tradisi masing-masing. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan hak ulayat kepala-kepala (rakyat yang turun-temurun misalnya, tetap berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut seolah-olah didasarkan atas satu karunia dari pada seorang sultan. (B.J.O Schrieke, 1974 dalam Hanafiah : 169-170)
Setiap kompromis Kesultanan Palembang dapat di buktikan ketika undang-undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-undang Simbur Cahaya merupakan suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, dat perkawinan, piagam, dan lain sebagainnya. Undang-undang ini disusun oleh Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639-1650) bersama sang isteri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9). Undang-undang Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah beralih kebentuk Kesultanan.
Menurut J,W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain mengukuhkan (vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W. van Royen, 1927:40 dalam Harfiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang secara jelas digambarkan oleh P. dee Roo de Faille (197:40 dan 57),
Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sulatan yang dilindunginya, meskipun mereka telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan pada kekuasaan”
            Secara struktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi. Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus sebagai pelindung agama. Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak didasarkan atas pertimbangan territorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah sebagai berikut :
1.      Sindang
Adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan. Penduduk di daerah memperoleh status mardika (merdeka atau bebas). Tugas untuk penduduk daerah perbatasan adalah menjaga pebatasan (Harfiah, 1995:171).

2.      Kepungutan
Merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam pengawasan kekuasaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk memproduksi komiditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komiditi ini menjadi hak (monopoli) Keaultanan Palembang Darussalam dalam pemasarannya. Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban. Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran. (Harfiah, 1995:171).
                                                                          
3.      Sikap
Merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana. Daerah sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan jenang (pemimpin suatu wilayah diluar ibukota kesultanan). Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah(sikap), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.

E.     Ekonomi
Kesultanan Palembang berada di kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangkan sejak abad ke-18.


F.     Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, sehingga Thomas Stamfort Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamudin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan  kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najmuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam Kesultanan Palemabng.
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Njajamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan pasuka Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasiingkan ke Ternate. Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan Kesultanan Palembang berada di bawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasaan di kalangan Istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan muadah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.


      
G.    Peninggalan-Peninggalan Kesultanana Palembang
Adapun peninggalan-peninggalan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah sebagai berikut :
1.      Masjid Agung
2.      Beteng Kuto Besak
3.      Keraton Kuto Besak
 



H.    Keruntuhan Kesultanan Palembang
            Serah terima keratin dengan seluruh kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam dilaksanakan oleh putra Badaruddin yaitu Prabukesuma dan menantunya Pangeran II. Kramajaya kepada Kolonel Bischoff pada tanggal 1 Juli 1821. Tanggal 16 Juli 1821 Jenderal De Kock melantik Prabu Anom menjadi Sultan Najamudin IV dan ayahnya Husin Dhiauddin menjadi susunan (Najamuddin II). Kesultanan Palembang dijadikan bagian dari Keresidenan Palembang di bawah pemerintahan colonial Belanda sesuai perjanjian yang diadakan pada tanggal 18 Mei  1823. Selanjutnya Sultan Najamuddin IV mendapat gaji dari pemerintah colonial. Pelaksanaan perjanjian ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1823.
            Tindakan Belanda ini membawa konsekuensi kemarahan yang terpendam di keluarga Sultan maupun rakyat di pedalaman Musi Rawas. Pada bulan November 1824 Sultan dibantu keluarga serta alim-ulama meneyerbu ke garnisum Belanda di Kuto Besak. Serangan ini tak membawa hasil, Sultan Najamuddin Melarikan diri ke daerah Ogan. Akan tetapi karena ditinggalkan pengikut-pengikutnya, kemudian menyerang kepada Belanda pada bulan Agustus 1825, kemudian dibawah ke Batavia dan di buang ke pulau Banda akhirnya di pindahkan ke Manado pedalaman. Untuk itu Belanda mengakat keluarga (menantu) mantan SDultan Badaruddin II, Pangeran Kramo Jayo (Kramajaya) Sebagai Perdana Menteri, karena kerabat Badaruddin II inilah yang mempunyai Kharisma di depan rakyat.
            Rakyat pedalaman masih mengharapkan kembalinya Kesultanan Palembang dan dengan lemahnya pemerintah timbullah pergolakan-pergolakan bahkan colonial di pedalaman, pemberontakan terutama di daerah pesemah. Adanya peristiwa-peristiwa yang memusingkan pemerintah colonial ini, Belanda tidak dapat mempercayai Pangeran Kramo Jayo dan Belanda menuduhnya terlibat. Kemudian ia di pecat dan di buang ke Jawa pada tahun 1851. Dengan demikian habislah sisa-sisa peranan kekuasaan Kesultanan Palembang dan berganti dengan kekuasaan colonial Belanda secara mantap.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan yang telah kami tulis kami menyimpulkan bahwa Kesultanan Palembang Darussalam berdiri selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1659 hingga tahun 1825. Sebelum kesultanan ini berdiri sebenarnya telah ada terlebih dahulu Kerajaan Palembang yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. 
Dan di sana terdapat beberapa pemimpin yang memimpin Kesultanan Palembang yaitu Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659-1706 M), Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714 M), Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714-1724 M), Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah), Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo (Sultan Badarudin I) (1724-1758 M), Sultan Ahmad Najmudin (1758-1776 M), Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804 M), Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804-1812 M), Sultan Ahmad Najmuddin II Husin Diauddin (1813-1817 M), Sultan Ahmad Najmuddin III Prabu Ratu (1819-1821 M), Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821-1823 M), Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Bdaruddin III) (2003). Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-sekarang).
                                                                     
DAFTAR PUSTAKA